Hari Ini

Kamis, 5 Juni 2025 09:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cerpen Hari Ini
Iklan

Cerpen tentang panorama imaji yang mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Ketika malam itu kabar berita dari blantika dunia-lebar amat jauh lagi. 
"Kau datang sobat."
"Apa kabarmu. Apakah kau masih menjadi pembunuh?"

"Oh tentu saja. Saya pembunuh asli."
"Semakin mantap nampaknya."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kelompok hitam atau putih tak lagi berbeda. Keduanya wajib di gembok." 
"Sekalipun dilingkungan tertutup plus terbatas."

"Cek! Cek! Cek!"
"Demikianlah adanya. Kasih tak sampai."

"Cinta terlarang."
"Berkisah di balik tembok."

"Tempat kita ditempa. Apa kabar."
"Matisuri."

"Loh why gituloh."
"Not why. Not we."

"Waduh! Kok bisa."
"Bisa saja." Sembari memberi isyarat dengan jemarinya.

"Hahaha." Keduanya terpingkal-pingkal.
"Tak ada lagi kiprah estetika."

"Tak ada lagi pimpinan terdepan."
"Semua telah menjadi jagung rebus."

"Tampaknya akan terulang musim rebusan."
"Hahaha. Tak jauh beda pula. Kaum lempar batu sembunyi tangan." 

"Kaum pengecut."
"Ada di setiap zaman berlari."

"Hidup ada batasnya. Santai kawan." Meluncur dari keprihatinan mendalam.
Setelah hening sesaat. "Tak ada lagi dinamika. Jadi kotoran komodo."

Lantas tak seberapa lama kabar menyebar bahwa telah terjadi kerentanan hus wah suh, kepada seluruh jenis tingkatan komunikasi di gembok saja.

"Wow sekale ya." Mendalam menerima kabar itu.
"Wow banget!" Keduanya membisu.

"Lantas?" Berlangsunglah lautan api dalam sekam. Menggelegak di sunyi.
"Tak ada lagi wawancara dengan keramaian." Bukan siapa-siapa atau apapun. Bukan pula apa-apanya dong. Di ranah pikir. Diam dalam api ada di antara sosok-sosok masif anonim simpang siur. Lantas jadilah peristiwa. Hanya itu. Sebagai ide natural muncul kepermukaan nalar estetika.

Melihat. Mengamati, pertunjukan laiknya dramatisasi kurang kerjaan hitam di atas putih ataupun sebaliknya. Baru kali ini terasa aneh. Tampilan ide-ide terasa gamang sosok-sosok ngoceh melulu lantas serupa pertunjukan entah apalah sulit di identifikasi hampir serupa sebuah wawancara abal-abal.

"Saya melihatnya. Apaan sih tuh." 
"Mime kontemporer kah." 

"Saya amati lagi." 
"Oh ini dramaturgi bisu. Tapi ngoceh tak jelas." 

"Lantas semena-mena seseorang memanggil-manggil." 
"Sosok itu bermuka absurd sesuka hati. Sekeras suara semaunya.".

Sosok berdiri baik-baik memakai atribut lengkap entah seperti apa. Bermuka absurd lantas diteriaki "Bangsat!" Si sosok berdiri bermuka abdurd itu terus ngoceh. Diteriaki lagi "Bangsat!" Kesadaran tak muncul dari lingkungan sekitar itu. 

Oh! ini mungkin semacam bentuk pementasan teater. Teriakan lagi "Bangsat!" Oh, ternyata seseorang itu memanggil sosok berwajah absurd. Mungkin dia bernama, Bangsat, tokoh di arena itu.  

Hahaha. Ngakak terpingkal-pingkal, ternyata ada dua tokoh, satu sosok berdiri selalu di panggil, Bangsat, oleh sosok lain itu, oh okeh. Lantas ada sosok-sosok mencuci sesuatu tak henti-henti. Entah apa tengah dicuci pun tak jelas. 

"Oh! Itu! Hahaha." Ngakak lagi, teringat sesuatu ternyata mudah dicuci kalau kuasa tangan memegang sabun cuci, wkwkwk, hampir mirip satireisme ada di tangan sang pencuci wkwkwk, ini sungguh serupa zaman super edan, mungkin akan datang.

Tapi, kenapa dipanggil Bangsat sih, wkwkwk. Enggak ada nama lain apa, biar keren-an dikit gitu. Agak berbau nama asing gituloh, misalnya John atau Michael atau apalah, asal jangan memakai Bangsat, hahaha. Lagi suara memanggil itu. Ngakak isme deh lagi-lagi, wkwkwk Bangsat. Lama-lama mengganggu estetika berpikir hamba tengah mengamati nih. 

Wkwkwk "Bangsat." Gumam di benak perlahan. Hahaha ngakak lagi di hati. Tak habis pikir di nalar hamba. Ada sosok bernama Bangsat sih. Kok bisa di panggil-panggil seperti itu. Oh iya ya. Ini kan cerita rekaan imaji panggung sandiwara.

Oh Hahaha. Ngakak lagi. Kok mau ya, sosok itu berperan sebagai Bangsat. Lantas siapa sosok di kursi itu. Sangat brutal memanggil-manggil "Bangsat!" Dengan berteriak. Padahal sosok  Bangsat berwajah aduhai lebih menak ceria deh dari tokoh di kursi itu loh.

Artinya ada misteri. Kemungkinan juga kontra indikasi di balik nama si tokoh Bangsat. Siapa sesungguhnya dia. Apakah dia seorang tokoh sekaligus majikan, atau dia majikan, berpura-pura menjadi pesuruh. 

Wow! Oh! Wow! Penonton penasaran dong. Paling krusial sepanjang adegan itu ketika mempertontonkan dengan cara menghamburkan potongan kertas dari langit-langit arena pertunjukan itu.

"Wah! Terasa kegilaan dari suatu kesombongan pamer kepandiran. Cek! Cek! Cek!" Penonton disebelah saya mengawali perebutan kertas-kertas itu. Jadilah semua orang di ruangan berebutan kertas-kertas beterbangan dari ketinggian. 

Wow! Mencoba membaca adegan. Ini realitasnya mungkin, dari suatu misteri tak diketahui penontonnya. Siapa sesungguhnya memulai semua ini. 

Bah! Logika terbalik menjadi jungkir balik. Dalam kisah di otak saya mungkin saja keramaian itu, biangkeladi dari semua misteri, sampai menjadi angin lesus sas sis sus. Gong!

Hahaha kepandiran versus membingungkan. Baru menangkap clue dari daya ucap pementasan itu. Bangsat, bisa menjadi apa saja, tergantung kebutuhan estetika di otaknya. Bisa hitam kapan saja sasuka hati. Bisa putih pula. 

Bangsat, sosok luar biasa hebat memang. Dia tokoh bunglon di balik scene by scene serupa sinetron di ruang waktu. Jreng

***

Jakarta Indonesiana, Juni 05, 2025.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jreng! Dar Der Dor

Senin, 9 Juni 2025 08:28 WIB
img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua